Kisah gadis berhijab yang menjadi guru di sekolah Katolik

by -33 Views

Martina Puspita (25), perempuan berhijab biru terlihat mengarahkan sejumlah siswa yang turun dari bus untuk menuju aula Griya Ekologi Kelir Banyuwangi, Jumat (19/1/2017).

Mereka adalah para siswa SMA Katolik se-Yayasan Karmel, Jawa Timur, yang sedang berwisata ke Banyuwangi.

Griya Ekologi Kelir Banyuwangi adalah milik SMA Katolik Hikmah Mandala tempat Martina Puspita mengajar. Di sekolah milik Yayasan Karmel Keuskupan Malang tersebut, Martina mengajar sebagai guru bahasa Indonesia.

“Sejak pertama kali mengajar di SMA Katolik tahun 2015 saya sudah menggunakan jilbab. Alhamdulih tidak pernah ada masalah. Syaratnya yang penting rapi,” kata Martina kepada Kompas.com, Jumat (19/12/2018) sambil tersenyum.

SMA Katolik Hikmah Mandala bukan tempat baru bagi perempuan kelahiran Banyuwangi, 31 Januari 1993, karena Martina menyelesaikan pendidikan sejak TK hingga SMA di sekolah katolik yang berada di jalan Jaksa Agung Suprapto, Banyuwangi.

Kepada Kompas.com, Martina mengaku lahir dari keluarga yang berlatar belakang Islam, dan ayahnya, Sumarto, selama puluhan tahun bekerja sebagai sopir keuskupan Malang yang ada di Banyuwangi. Karena kedekatan itulah, maka ayahnya menyekolahkan Martina di sekolah katolik tersebut.

“Ayah menjadi sopir keuskupan lebih dari 25 tahun. Jadi sekalian sekolahnya. Ayah saya Islam, ibu saya Islam, semua keluarga besar juga Islam. Dan, ini tidak menjadi masalah bagi kami. Ayah banyak mengajarkan tentang toleransi dan beliau adalah orang yang sangat taat sekali beribadah. Sekarang sudah pensiun,” kata Martina.

Lulus SMA tahun 2011, Martina kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Jember Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Semua biaya kuliah ditanggung secara pribadi oleh Romo Tiburtius Catur Wibawa, kepala SMA Katolik Hikmah Mandala.

Saat semester tiga, Martina kemudian memutuskan menggunakan hijab, dan pada tahun 2015 saat menyelesaikan skripsi, Martina diminta untuk membantu mengajar di SMA Katolik Hikmah Mandala.

“Saat itu saya bilang Romo Catur saya menggunakan jilbab. Lalu romo bilang ya nggak apa-apa. Ngajar saja, yang penting jilbabnya rapi. Dan, saya akhirnya pulang kembali ke almamater saya untuk mengajar dan wisuda tahun 2016,” jelasnya.

Walaupun mengajar dengan mengenakan hijab di sekolah katolik, Martina mengaku tidak pernah mendapatkan diskriminasi, bahkan dia juga bebas beribadah. “Ada ruang pribadi yang diizinkan untuk saya shalat,” jelasnya.

Diskriminasi malah dirasakan Martina saat duduk di bangku kuliah karena beberapa rekannya menjaga jarak saat tahu dia lulusan sekolah katolik dan tidak menggunakan jilbab. Bahkan sebagian besar rekannya di kampus mengira Martina tidak beragam Islam.

“Ketika kuliah saya malah merasa menjadi minoritas di rekan-rekan saya yang beragama Islam hanya karena saya tidak berhijab sempat sedih,” jelasnya.

Sementara itu, Romo Tiburtius Catur Wibawa kepada Kompas.commenjelaskan, sejak menjadi kepala SMA Katolik Hikmah Mandala pada tahun 2006 hingga sekarang, sudah ada 11 orang lulusan SMA yang dia kuliahkan. Sembilan orang sudah lulus dan dua orang masih menempuh pendidikan.

“Saya kuliahkan mereka yang memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan dan secera ekonomi menengah ke bawah. Dan, saya tidak mengikat mereka. Bebas setelah lulus mau ke mana saja. Dari sembilan yang sudah lulus semuanya mengajar tidak hanya di sini, ada juga yang di Malang. Salah satunya ya Bu Martina,” kata Romo Catur.

Ia mengaku, walaupun sekolah katolik, siswa dan guru serta pegawai sekolah berasal dari latar belakang agama yang berbeda. ada yang Kristen, Hindu dan Islam. Saat ini ada 28 orang yang bekerja di SMA Katolik Hikmah Manda, baik guru ataupun pegawai TU. Sementara jumlah siswa sebanyak 260 orang.

“Siswanya 25 persen beragama Islam, 30 persen katolik dan sisanya beragama kristen,” jelasnya.

Romo Catur mengatakan. Martina adalah satu-satunya guru yang menggunakan hijab di sekolah yang dia pimpin.

“Kalau ada yang komentar saya memilih tidak mendengarkan, karena yang terpenting adalah prestasinya,” katanya sambil tersenyum.

Hal senada juga dijelaskan Romo B Hudiono, ketua Yayasan Karmel Keuskupan Malang kepada Kompas.com. Menurutnya, saat ini yayasan Karmel menaungi 61 sekolah mulai TK hingga SMA yang tersebar di eks karesidenan Besuki, Malang dan Madura.

“Sekolah kita ini adalah miniatur Indonesia. Dan dari 650 karyawan, 110 karyawan kami adalah muslim. Di sekolah kami yang Madura juga ada yang berjilbab. Di sana ada 7 sekolah,” jelas Romo Hudiono.

Bahkan saat ada yang melaksanakan ibadah haji dan izin selama 40 hari, pihak yayasan tidak mempermasalahkan.

“Namanya orang beribadah ya kami izinkan. Nggak boleh kalau dilarang-larang. Saya selalu bilang sekolah kita adalah miniatur Indonesia, sekolah kita menjadi perekat kebangsaan. Saya tidak mengizinkan fanatisme sempit tentang agama apapun di sekolah naungan yayasan Karamel,” jelasnya.

Yayasan yang ada sejak 1926 tersebut, menurut Romo Hudiono, adalah lembaga sosial dan pendidikan yang terpanggil untuk mencerdaskan anak bangsa demi tata kehidupan bersama yang berbudaya berdasarkan kasih dan peduli kepada yang miskin.

“Jangan sampai orang tidak sekolah hanya karena alasan miskin,” pungkasnya.

 

Sumber: TRIBUN-MEDAN.COM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *